Membimbing Anak Menggunakan Gadget
By Hidayatullah Bengkulu Selatan - Selasa, April 24, 2018
Jangan menjadi orangtua yang permisif terhadap anak! |
Orangtua khawatir jika anaknya kecanduan gadget. Padahal, memang orangtualah yang mengajarinya!
Gadget telah menjadi benda yang sulit dipisahkan dari kehidupan manusia masa kini. Dari anak sampai dewasa, tangannya selalu memegang gadget. Bukan saja di Indonesia, tetapi juga mancanegara, termasuk melanda anak-anak produsennya. Di Jepang, fenomena ini disebut dengan hikikomuri, sampai anak menjadi asosial (tidak bergaul), menarik diri dari keramaian dan suka menyendiri. Yang penting ada gadget.
Menurut Derry Iswidharmanjaya dalam buku Bila Si Kecil Bermain Gadget, gadget memiliki dampak buruk bagi anak, diantaranya: 1) menjadi pribadi tertutup, 2) kesehatan otak terganggu, 3) kesehatan mata terganggu, 4) kesehatan tangan terganggu, 5) gangguan tidur, 6) suka menyendiri, 7) prilaku kekerasan, 8) pudarnya kreativitas, 9) terpapar radiasi, 10) ancaman cyberbullying.
Anehnya, mungkin karena kurangnya referensi, sebagian orangtua malah bangga jika anaknya lihai mengotak-atik gadget. Bahkan ada anak yang belum bisa berbicara sudah pandai membuka file-file poto di dalam smartphone. "Wah, anakku itu, belum juga bisa bicara, tapi cari-cari potonya di hape cepat sekali. padahal gak pernah kuajari. Pandai sekali dia!" ucapnya
Menurut penelitian Jean Piaget, perintis teori konstruktivisme tentang pengetahuan, seorang anak mulai sanggup melakukan aktivitas berpikir pada usia tujuh tahun. Dengan demikian, kemampuan anak yang lihai mengotak-atik smartphone tidak bisa dikategorikan secara mutlak sebagai bentuk kecerdasan.
Alih-alih ngobrol berkenalan dan bertukar cerita, hampir semuanya akan asyik dengan gadget masing-masing. Mereka "berkompetisi"mengunggah poto, update status, saling mention, dan bertukar komentar.
Di bawah usia tujuh tahun, seseorang anak belum mengerti tentang konsep. Anak belajar bukan untuk menjadi bisa, tetapi karena terbiasa. Artinya, kelihaian anak bermain smartphone adalah karena kebiasaan mereka melihat dan menggunakannya.
Jika anak-anak kita terbiasa mendengarkan ayat suci al-Qurán, mendengarkan diskusi orangtua, dan melihat orangtua disiplin dan antusias dalam beribadah, maka anak akan melihat kebiasaan itu sebagai bagian dari kehidupannya. Oleh karena itu, anak balita sudah mampu memperagakan gerak sholat. Itu karena terbiasa melihat orangtuanya sholat.
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan gadgetuntuk anak-anak di bawahusia tujuh tahun hendaknya betul-betul diawasi secara ketat. Jangan sampai peluang terbenuknya kebiasaan pada diri anak direbut oleh gadget. Ini bisa menimbulan masalah di kemudian hari.
Lantas, bagaimana jika anak sudah berusia tujuh tahun? Jauh sebelum Piaget melakukan riset, Rasulullah ﷺ telah memberikaan kode penting dalam haditsnya, "Perintahkanlah anak-anak untuk mengerjakan sholat, apabila telah berumur tujuh tahun. Dan apabila telah berumur sepuluh tahun, maka pukullah dia karena meninggalkan (shalat)." (Riayat Abu Daud)
Mari kita coba, misalnya dengan membuat peraturan: kapan anak boleh bermain gadget dan melakukan apa yang disukainya dengan komitmen bersama disipin dalam belajar, beribadah, membaca al-Qur'an, dam membantu pekerjaan rumah yang relevan dengan usianya.
Mulai Dari Diri Sendiri
Jika dicermati lebih jauh, sesungguhnya pengaruh gadget pada anak berkaitan erat dengan konsep keteladanan. Bukankah hari ini yang "tergila-gila" dengan gadget justru para orangtua?
Lihatlah disebuah acara, misalnya pernikahan. Betapa banyak orang dari berbagai kalangan yang datang ke hajatan. Alih-alih ngobrol berkenalan dan bertukar cerita, hampir semuanya akan asyik dengan gadget masing-masing. mereka "berkompetisi" mengunggah poto, update status, saling mention, dan bertukar komentar.
Demikian pun dalam keseharian. seorang ibu dan ayah masih saja melihat gadget sebagai yang pertama, sehingga anak kehilangan momentum mendapatkan tatapan orangtua yang amat dirindukan. Dalam situasi seperti ini, maka tidak heran jika anak pun telah siap menjadi pecandu gadget. Kok bisa? Ya, karena orangtua telah memberikan keteladanan tanpa sadar.
Sangat penting bagi suami-istri membuatkan kesepakatan bersama demi kebaikan anak dan keluarga dari ancaman gadget. Misalnya sebagaimana berikut:
1. Saat sarapan bersama, gadget dinonaktifkan
2. Saat berpergian gadget masuk dalam satu tas
3. aktivitas gadget hanya sebatas ruang kerja atau diluar rumah. begitu masuk rumah, gadget mesti dinonaktifkan
4. Matikan gadget saat ibu dan atau ayah menemani anak belajar atau mau tidur.
Masing-masing orangtua lebih memahami poin-poin penting lainnya sesuai situasi dan kondisi. Harapannya, keceriaan anak dan kebiasaan positif mereka tidak tersandera oleh "hobi" otrangtua bermain gadget.
Dalam relasi suami istri, menarik apa yang dikatakan psikolog Emma Short dari Unevirsitas Bedfordshre. Yakni menggunakan gadget secara tidak terkendali akan membuat keluarga, teman, rekan kerja, atau pasangan kita terabaikan.
Kerjasaama Dengan Sekolah
Bagaimana jika anak kita sudah remaja? Orangtua mesti melakukan komunikasi dan musyawarah dengan pihak sekolah guna membantu anak-anak agar terhindar dari dampak negatif gadget.
Banyak lembaga pendidikan atau pesantren yang melarang sama sekali penggunaan gadget oleh anak-anak. Bisa pula seperti sekolah-sekolah di Korea Selatan yang menerapkan pengendalian penggunaan gadget di sekolah. Semua gadget dikumpulan saat memasuki lingkungan sekolah dan baru bisa diambil jika bel pulang sekolah.
Pada saat yang sama, sekolah juga perlu memasang poster-poster yang mendorong terbangunnya kesadaran murid agar benar-benar mampu mengendalikan diri dalam memainkan gadget. Misalnya, "Hargai waktumu dengan tekun belajar, dan manfaatkan gadget hanya sebatas keperluan."
Semoga hal-hal semacam itu bisa diterapkan mulai dari orangtua, keluarga dan sekolah, syukur-syukur juga masyarakat. Wallahu a'lam.
Sumber: Imam Nawawi | Majalah Suara Hidayatullah Edisi 12 (April 2016)
Jika anak-anak kita terbiasa mendengarkan ayat suci al-Qurán, mendengarkan diskusi orangtua, dan melihat orangtua disiplin dan antusias dalam beribadah, maka anak akan melihat kebiasaan itu sebagai bagian dari kehidupannya. Oleh karena itu, anak balita sudah mampu memperagakan gerak sholat. Itu karena terbiasa melihat orangtuanya sholat.
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan gadgetuntuk anak-anak di bawahusia tujuh tahun hendaknya betul-betul diawasi secara ketat. Jangan sampai peluang terbenuknya kebiasaan pada diri anak direbut oleh gadget. Ini bisa menimbulan masalah di kemudian hari.
Lantas, bagaimana jika anak sudah berusia tujuh tahun? Jauh sebelum Piaget melakukan riset, Rasulullah ﷺ telah memberikaan kode penting dalam haditsnya, "Perintahkanlah anak-anak untuk mengerjakan sholat, apabila telah berumur tujuh tahun. Dan apabila telah berumur sepuluh tahun, maka pukullah dia karena meninggalkan (shalat)." (Riayat Abu Daud)
Mari kita coba, misalnya dengan membuat peraturan: kapan anak boleh bermain gadget dan melakukan apa yang disukainya dengan komitmen bersama disipin dalam belajar, beribadah, membaca al-Qur'an, dam membantu pekerjaan rumah yang relevan dengan usianya.
Mulai Dari Diri Sendiri
Jika dicermati lebih jauh, sesungguhnya pengaruh gadget pada anak berkaitan erat dengan konsep keteladanan. Bukankah hari ini yang "tergila-gila" dengan gadget justru para orangtua?
Lihatlah disebuah acara, misalnya pernikahan. Betapa banyak orang dari berbagai kalangan yang datang ke hajatan. Alih-alih ngobrol berkenalan dan bertukar cerita, hampir semuanya akan asyik dengan gadget masing-masing. mereka "berkompetisi" mengunggah poto, update status, saling mention, dan bertukar komentar.
Demikian pun dalam keseharian. seorang ibu dan ayah masih saja melihat gadget sebagai yang pertama, sehingga anak kehilangan momentum mendapatkan tatapan orangtua yang amat dirindukan. Dalam situasi seperti ini, maka tidak heran jika anak pun telah siap menjadi pecandu gadget. Kok bisa? Ya, karena orangtua telah memberikan keteladanan tanpa sadar.
Sangat penting bagi suami-istri membuatkan kesepakatan bersama demi kebaikan anak dan keluarga dari ancaman gadget. Misalnya sebagaimana berikut:
1. Saat sarapan bersama, gadget dinonaktifkan
2. Saat berpergian gadget masuk dalam satu tas
3. aktivitas gadget hanya sebatas ruang kerja atau diluar rumah. begitu masuk rumah, gadget mesti dinonaktifkan
4. Matikan gadget saat ibu dan atau ayah menemani anak belajar atau mau tidur.
Masing-masing orangtua lebih memahami poin-poin penting lainnya sesuai situasi dan kondisi. Harapannya, keceriaan anak dan kebiasaan positif mereka tidak tersandera oleh "hobi" otrangtua bermain gadget.
Dalam relasi suami istri, menarik apa yang dikatakan psikolog Emma Short dari Unevirsitas Bedfordshre. Yakni menggunakan gadget secara tidak terkendali akan membuat keluarga, teman, rekan kerja, atau pasangan kita terabaikan.
Kerjasaama Dengan Sekolah
Bagaimana jika anak kita sudah remaja? Orangtua mesti melakukan komunikasi dan musyawarah dengan pihak sekolah guna membantu anak-anak agar terhindar dari dampak negatif gadget.
Banyak lembaga pendidikan atau pesantren yang melarang sama sekali penggunaan gadget oleh anak-anak. Bisa pula seperti sekolah-sekolah di Korea Selatan yang menerapkan pengendalian penggunaan gadget di sekolah. Semua gadget dikumpulan saat memasuki lingkungan sekolah dan baru bisa diambil jika bel pulang sekolah.
Pada saat yang sama, sekolah juga perlu memasang poster-poster yang mendorong terbangunnya kesadaran murid agar benar-benar mampu mengendalikan diri dalam memainkan gadget. Misalnya, "Hargai waktumu dengan tekun belajar, dan manfaatkan gadget hanya sebatas keperluan."
Semoga hal-hal semacam itu bisa diterapkan mulai dari orangtua, keluarga dan sekolah, syukur-syukur juga masyarakat. Wallahu a'lam.
Sumber: Imam Nawawi | Majalah Suara Hidayatullah Edisi 12 (April 2016)
0 komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.