Syaikh Ismail Bin Abdul Muthallib Al-Asyi - Ulama Aceh Disegani Di Mesir
By Hidayatullah Bengkulu Selatan - Selasa, April 17, 2018
Orang Aceh niscaya mengetahui atau minimal pernah mendengar nama Kitab Lapan dan Tajul Muluk. Kedua kitab ini merupakan karya para ulama Aceh yang di-tashih (diperiksa kebenarannya) oleh Syaikh Ismail Bin Abdul Muthallib Al-Asyi.
Kitab Lapan ditulis oleh delapan ulama Aceh, kemudian di-tashih dan di-tahqiq (diperiksa secara seksama dan detail) oleh Syaikh Ismail. Yakni dengan memberi catatan beberapa kosa kata dari bahasa Aceh ke bahasa Melayu yang umum digunakan pada masa itu.
Saat itu guru Syaikh Ismail, yaitu Syaikh Ahmad al-Fathani di Makkah, tengah melakukan program pen-tashih-an kitab-kitab Melayu. khusus yang berbahasa Aceh ditugaskan kepada Syaikh Ismail.
Sebuah pekerjaan yang tidak mudah dan hanya bisa dilakukan oleh orang alim. Sebab, dalam tradisi syarah (penjelasan) dan hasyiyah (eksplorasi), seorang ulama yang berani menghimpun kitab-kitab ulama berarti sudah pernah mendapatkan ijazah ilmu, baik secara lahir maupun batin. Dalam tradisi keilmuan islam, model ijazah adalah salah satu syarat untuk menjadi murid atau punya hubungan batin dengan ulama sebelumnya.
Isi Kitab Lapan ini sangat komplit. Diambil dari delapan judul kitab yang memuat berbagai macam pembahasan, mulai dari massalah tauhid, fiqih ibadah, fiqih muamalah yang terdiri dari perdagangan, nikah, dan warisan. Selain itu juga pembahasan mengenai masalah akhlaq dan adab-adab dalam belajar-mengajar.
Dalam pembahasan masalah tauhid atau teologi, para ulama penulis kitab ini menganut faham Asy'ariah yang menjelaskan 20 sifat Allah ﷻ. Pembahasan ini dijadikan sebagai masalah prinsip dalam mempelajari tauhid dalam kitab-kitab ulama Asy'ariah. Selain harus dihafal, juga harus mengerti konsepnya.
Sedangkan dalam pembahasan fiqih memakai mazhab Syafi'i sebagai sumber pandangan dan rujukan. Ini terlihat dari pembahasan mengenai adanya melafazkan niat dalam shalat, qunut Shubuh, dan zikir berjamaah.
Bidang tasawuf juga dibahas. Kitab ini banyak mengambil pemikiran al-Ghazali yang mengupas masalah hati.
Pada halaman terakhir cetakan ke-8 yang diterbitkan oleh Mathba'ah al-MIriyah al-Kainah, Makkah, tahun 1320 H/1902 M, Syaikh Ismail menuliskan : "...dan di-tashih-kan dengan cermat dan ditaruhkan pula pada tepinya hasyiah, yakni tafsir kalam yang payah jadi mudah."
Maksudnya, Syaikh Ismail memberi catatan bahasa Aceh yang disesuaikan maknanya dengan bahasa Melayu. Juga memberikan uraian pada kalimat yang tidak jelas.
Kitab lain yang di-tashih-kan oleh Syaikh Ismail adalah Tajul Muluk. Dalam kitab ini terkumpul juga beberapa karyanya sendiri.
Syaikh Ismail memulai kumpulan kitab itu dengan me-nushkhah (menyalin) karya Syaikh Abbas al-Asyi yang berjudul Siraj al-Zulam. Pada bagian akhir yang di-tashih-nya, Syaikh Ismail mencatat: "Maka telah selesai hamba salin kitab ini dalam negeri Makkah yang Musyarrafah pada massa hijriyah Nabi shollahu'alaihi wasallam 1306 tahun, pada hari sabtu , pada 28 hari bulan Rabiul Awwal..."
Kitab terakhir dalam Tajul Muluk berjudul Hidayah al-Mukhtar karya Syaikh Wan Hasan Bin Wan Ishaq al-Fathani.
Selain men-tashih kitab para ulama Aceh, Syaikh Ismail juga mengarang kitab Mubtadiin, Tuhfatul Ikhwan fi Tajwidil-Qur'an, Fathul-Mannan, serta Fathul-Mannan fi Hadits Afdhal Waladi 'Adnan. Semua kitab tersebut diterbitkan di Makkah.
Jika kitab-kitab diatas dicermati, maka dapat diketahui bahwa penulisnya benar-benar ahli di berbagai bidang ilmu. Mulai dari persoalan aqidah, fiqih, tajwid, bahasa, tafsir, dan hadits.
Ada yang khas dalam karya-karya Syaikh Ismail. Yakni selalu disisipkan syair-syair yang indah, baik saat men-tashih maupun dalam karyanya sendiri.
Kitab-kitab tersebut mendapat sambutan masyarakat luas. Sampai sekarang karyanya masih banyak diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan di kawasan Melayu, baik di Aceh, Malaysia, hingga Thailand Selatan.
Ketua Pelajar Melayu Di Al-Azhar
Masa kelahiran dan dimana tempat lahir Syaikh Ismail, hingga kini masih menjadi perbincangan diantara ahli sejarah. Yang telah ada hanya informasi umum bahwa ia lahir di Aceh dan meninggal di Kairo, Mesir,
Masa kecilnya dihabiskan di Aceh. Di tanah kelahirannya, Ismail berguru kepada Syaikh Ali Asyi.
Beranjak dewasa, orangtuanya mengirim Ismail ke Makkah.Di tanah suci ia berguru kepada Syaikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan Syaikh Ahmad al-Fathani. Kedua ulama ini sangat disegani, tidak hanya di tanah Arab, tetapi juga di rantau Melayu, seperti di Aceh, Pattani, dan Kelantan.
Syaikh Ahmad menugaskan beberapa muridnya, termasuk Ismail, untuk belajar di Al-Azhar, Kairo, Mesir. Bahkan Ismail akhirnya dilantik oleh Syaikh Ahmad sebagai Ketua Pelajar-Pelajar Melayu di Kairo.
Sebagai ketua pelajar Melayu, Ismail bertugas untuk mengurus dan membina kader-kader muda Islam dari berbagai daerah Nussantara yang sedang belajar di Al-Azhar. Ismail kemmudian membentuk wadah pemersatu pelajar Nusantara bersama Syaikh Muhammad Thahir Khatib, Syaikh Abdurrazak bin Muhammad Rais, dan Syaikh Muhammad Nur Fathani.
Wadah itu memudahkan orang-orang Melayu yang hendak mengirimkan anaknya belajar di al-Azhar. Bukan cuma itu, orangtua juga merasa aman jika anaknya berada di bawah pengawasan organisassi tersebut.
Para pelajar baru dari Melayu dibimbing secara intensif agar bisa mengikuti pelajaran yang ada di al-Azhar. Selain itu juga rutin dilakukan pertemuan diantara pelajar untuk memperkuat persatuan orang-orang Melayu di Mesir. Dalam pertemuan tersebut sekaligus diadakan kajian yang dibimbing langsung oleh syaikh Ismail dan kawan-kawan. Inilah yang kemudian pelajar lainnya segan terhadap orang-orang Melayu. Apalagi keilmuan Syaikh Ismail diakui oleh para ulama Mesir.
Syaikh Ismail Asyi meninggal dunia di Mesir. Sedang keturunanya banyak yang menetap di Makkah. Sampai sekarang belum diketahui di mana pusarannya.
Sumber: Bahrul Ulum | Majalah Suara Hidayatullah Edisi 12 (April 2018)
Saat itu guru Syaikh Ismail, yaitu Syaikh Ahmad al-Fathani di Makkah, tengah melakukan program pen-tashih-an kitab-kitab Melayu. khusus yang berbahasa Aceh ditugaskan kepada Syaikh Ismail.
Sebuah pekerjaan yang tidak mudah dan hanya bisa dilakukan oleh orang alim. Sebab, dalam tradisi syarah (penjelasan) dan hasyiyah (eksplorasi), seorang ulama yang berani menghimpun kitab-kitab ulama berarti sudah pernah mendapatkan ijazah ilmu, baik secara lahir maupun batin. Dalam tradisi keilmuan islam, model ijazah adalah salah satu syarat untuk menjadi murid atau punya hubungan batin dengan ulama sebelumnya.
Isi Kitab Lapan ini sangat komplit. Diambil dari delapan judul kitab yang memuat berbagai macam pembahasan, mulai dari massalah tauhid, fiqih ibadah, fiqih muamalah yang terdiri dari perdagangan, nikah, dan warisan. Selain itu juga pembahasan mengenai masalah akhlaq dan adab-adab dalam belajar-mengajar.
Dalam pembahasan masalah tauhid atau teologi, para ulama penulis kitab ini menganut faham Asy'ariah yang menjelaskan 20 sifat Allah ﷻ. Pembahasan ini dijadikan sebagai masalah prinsip dalam mempelajari tauhid dalam kitab-kitab ulama Asy'ariah. Selain harus dihafal, juga harus mengerti konsepnya.
Sedangkan dalam pembahasan fiqih memakai mazhab Syafi'i sebagai sumber pandangan dan rujukan. Ini terlihat dari pembahasan mengenai adanya melafazkan niat dalam shalat, qunut Shubuh, dan zikir berjamaah.
Bidang tasawuf juga dibahas. Kitab ini banyak mengambil pemikiran al-Ghazali yang mengupas masalah hati.
Pada halaman terakhir cetakan ke-8 yang diterbitkan oleh Mathba'ah al-MIriyah al-Kainah, Makkah, tahun 1320 H/1902 M, Syaikh Ismail menuliskan : "...dan di-tashih-kan dengan cermat dan ditaruhkan pula pada tepinya hasyiah, yakni tafsir kalam yang payah jadi mudah."
Maksudnya, Syaikh Ismail memberi catatan bahasa Aceh yang disesuaikan maknanya dengan bahasa Melayu. Juga memberikan uraian pada kalimat yang tidak jelas.
Kitab lain yang di-tashih-kan oleh Syaikh Ismail adalah Tajul Muluk. Dalam kitab ini terkumpul juga beberapa karyanya sendiri.
Syaikh Ismail memulai kumpulan kitab itu dengan me-nushkhah (menyalin) karya Syaikh Abbas al-Asyi yang berjudul Siraj al-Zulam. Pada bagian akhir yang di-tashih-nya, Syaikh Ismail mencatat: "Maka telah selesai hamba salin kitab ini dalam negeri Makkah yang Musyarrafah pada massa hijriyah Nabi shollahu'alaihi wasallam 1306 tahun, pada hari sabtu , pada 28 hari bulan Rabiul Awwal..."
Kitab terakhir dalam Tajul Muluk berjudul Hidayah al-Mukhtar karya Syaikh Wan Hasan Bin Wan Ishaq al-Fathani.
Selain men-tashih kitab para ulama Aceh, Syaikh Ismail juga mengarang kitab Mubtadiin, Tuhfatul Ikhwan fi Tajwidil-Qur'an, Fathul-Mannan, serta Fathul-Mannan fi Hadits Afdhal Waladi 'Adnan. Semua kitab tersebut diterbitkan di Makkah.
Jika kitab-kitab diatas dicermati, maka dapat diketahui bahwa penulisnya benar-benar ahli di berbagai bidang ilmu. Mulai dari persoalan aqidah, fiqih, tajwid, bahasa, tafsir, dan hadits.
Ada yang khas dalam karya-karya Syaikh Ismail. Yakni selalu disisipkan syair-syair yang indah, baik saat men-tashih maupun dalam karyanya sendiri.
Kitab-kitab tersebut mendapat sambutan masyarakat luas. Sampai sekarang karyanya masih banyak diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan di kawasan Melayu, baik di Aceh, Malaysia, hingga Thailand Selatan.
Ketua Pelajar Melayu Di Al-Azhar
Masa kelahiran dan dimana tempat lahir Syaikh Ismail, hingga kini masih menjadi perbincangan diantara ahli sejarah. Yang telah ada hanya informasi umum bahwa ia lahir di Aceh dan meninggal di Kairo, Mesir,
Masa kecilnya dihabiskan di Aceh. Di tanah kelahirannya, Ismail berguru kepada Syaikh Ali Asyi.
Beranjak dewasa, orangtuanya mengirim Ismail ke Makkah.Di tanah suci ia berguru kepada Syaikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan Syaikh Ahmad al-Fathani. Kedua ulama ini sangat disegani, tidak hanya di tanah Arab, tetapi juga di rantau Melayu, seperti di Aceh, Pattani, dan Kelantan.
Syaikh Ahmad menugaskan beberapa muridnya, termasuk Ismail, untuk belajar di Al-Azhar, Kairo, Mesir. Bahkan Ismail akhirnya dilantik oleh Syaikh Ahmad sebagai Ketua Pelajar-Pelajar Melayu di Kairo.
Sebagai ketua pelajar Melayu, Ismail bertugas untuk mengurus dan membina kader-kader muda Islam dari berbagai daerah Nussantara yang sedang belajar di Al-Azhar. Ismail kemmudian membentuk wadah pemersatu pelajar Nusantara bersama Syaikh Muhammad Thahir Khatib, Syaikh Abdurrazak bin Muhammad Rais, dan Syaikh Muhammad Nur Fathani.
Wadah itu memudahkan orang-orang Melayu yang hendak mengirimkan anaknya belajar di al-Azhar. Bukan cuma itu, orangtua juga merasa aman jika anaknya berada di bawah pengawasan organisassi tersebut.
Para pelajar baru dari Melayu dibimbing secara intensif agar bisa mengikuti pelajaran yang ada di al-Azhar. Selain itu juga rutin dilakukan pertemuan diantara pelajar untuk memperkuat persatuan orang-orang Melayu di Mesir. Dalam pertemuan tersebut sekaligus diadakan kajian yang dibimbing langsung oleh syaikh Ismail dan kawan-kawan. Inilah yang kemudian pelajar lainnya segan terhadap orang-orang Melayu. Apalagi keilmuan Syaikh Ismail diakui oleh para ulama Mesir.
Syaikh Ismail Asyi meninggal dunia di Mesir. Sedang keturunanya banyak yang menetap di Makkah. Sampai sekarang belum diketahui di mana pusarannya.
Sumber: Bahrul Ulum | Majalah Suara Hidayatullah Edisi 12 (April 2018)
0 komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.