Mujahadah Sang Imam Dalam Menuntut Ilmu
By Hidayatullah Bengkulu Selatan - Jumat, November 16, 2018
Imam Bukhari memulai perjalanan ilmiahnya sejak anak-anak. Beliau telah hafal Al-Qur’an semenjak kecil juga.
Imam Bukhari pernah menuturkan, “Aku diberi ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di madrasah. Saat itu usiaku sekitar 10 tahun. Aku mulai belajar kepada Al-Dakhili dan ulama lainnya.”
Imam Bukhari melakukan rihlah ilmiah untuk pertama kalinya pada usia 18 tahun (riwayat lain mengatakan usia 16 tahun), kala pergi bersama ibu dan saudaranya ke tanah suci untuk berhaji dan tetap bertahan di kota suci untuk mendalami ilmu hadits bersama para ulama. Sementara keluarganya kembali ke Bukhara. Beliau lalu melanjutkan rihlah ke Madinah, Baghdad, Syam dan Mesir dan banyak lagi hingga tercatat tidak kurang dari 100 negeri telah dikunjungi.
Kesungguhan Imam Bukhari dalam menunutut ilmu tidak bisa diragukan lagi. Saking seriusnya, tidak saja beliau sangat teliti kala belajar, tetapi juga sangat hati-hati dalam menerima hadits dari para gurunya.
Beliau sangat selektif dan berhati-hati kala mengambil riwayat dari seorang guru yang ditemuinya. Beliau akan melihat perilaku keseharian gurunya tersebut. Baginya, tanda orang berilmu adalah orang itu mengamalkan ilmunya dan bersifat tawadhu’ (rendah hati).
Mujahadah dalam menuntut ilmu tersebut, menjadikan beliau memilki panduan tegas terhadap murid-muridnya dalam menuntut ilmu terutama ilmu hadits. Menurut Imam Bukhari, ada empat hal yang mesti diperhatikan.
Pertama, “Engkau harus mengetahui hadits-hadits Rasulullah, para sahabat dan tingkatannya, kehidupan para tabi’in, kehidupan dan riwayat sejarah hidup para ulama, sekaligus silsilah keluarga, nama-nama panggilan (kuniyah), serta tempat kelahiran mereka.
Mengetahui masalah-masalah yang menjadi perselisihan (ikhtilaf) diantara mereka seperti hukum imam membaca basmalah dalam pada sholat jama’ah. Mengetahui kategori hadits-hadits yang tergolong mursal atau musnad. Membedakan antara mauquf dan maqtu’.
Bagaimana masa muda para perawih hadits tersebut. Bagaimana sikap mereka ketika diberi kekayaan lalu ketika dicabut oleh Allah dan diganti dengan kemiskinan. Suasana kampung halaman perawih tersebut.
Bagaimana rawih itu menulis dan mempunyai manuskrip dalam lembaran kulit, menulisnya di bebatuan atau di kedaunan, hingga ia memindahkan manuskrip hadits tersebut ke dalam lembaran-lembaran kertas.
Siapa saja rawih yang berada diatasnya atau dari mana ia meriwayatkan. Siapa saja meriwayatkan dirinya. Apakah ada dua nama yang sama dengannya dalam satu masa. Apakah ayahnya menulis dan meriwayatkan hadits. Apakah ia mengambil riwayat serta mendapati manuskrip naskah dari ayahnya tersebut?
Penting juga diteliti, apakah ketika ia menulis, meriwayatkan, dan menyebarkan hadits Rasulullah benar-benar diniatkan untuk mencari keridhaan Allah? Terakhir, apakah ia mengamalkan haidts-hadits yang ia riwayatkan?” demikian nasihat Imam Bukhari kepada muridnya Al-Walid bin Ibrahim Al-Bukhari, seorang murid Imam Bukhari yang menjadi qadhi (hakim) di wilayah Rayy (satu kota di Iran sekrang).
Kerumitan diatas belum selesai. Nasihat lebih lanjut Imam Bukhari. “Engkau harus mengais rezeki yang halal dengan usahamu sendiri. Harus mengetahui tulis-menulis dan Bahasa Arab dengan segala seluk-beluk ilmunya. Badanmu juga harus selalu sehat dengan menjaganya. Selalu punya keinginan dan cita-cita tinggi (dalam mencari ilmu) serta mesti istiqomah.”
Itu juga belum dianggap cukup. “Engkau juga harus sabar dalam empat hal, yaitu keluarga, anak, harta dan (rindu) kampung halaman. Termasuk sabar dan harus menjauhi dari mencela musuh, mencaci teman, mengejek dan mengatakan pada orang “engkau bodoh” dan mendengki para ulama.”
Jika berhasil, Imam Bukhari menegaskan ada empat kebaikan yang didapat. Yakni, qono’ah (merasa selalu berkecukupan). Keyakinan dalam pribadi yang kian kuat dan terus menguat. Merasa nikmatnya thalabul ilmu. Dan, kehidupan abadi (di akhirat) sebagaimana terkmaktub dalam Al-Qur’an Al-Nahl ayat 97.
Subhanallah, terbayang bagaimana pengobanan dan perjuangan Imam Bukhari dalam menuntut Ilmu. Dimana ilmu ternyata bukan soal kecerdasan semata, tetapi juga adab dan integritas sekaligus.*/ Imam Nawawi
Sumber: Majalah Mulia Edisi September 2016 hal. 58-60
Imam Bukhari pernah menuturkan, “Aku diberi ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di madrasah. Saat itu usiaku sekitar 10 tahun. Aku mulai belajar kepada Al-Dakhili dan ulama lainnya.”
Imam Bukhari melakukan rihlah ilmiah untuk pertama kalinya pada usia 18 tahun (riwayat lain mengatakan usia 16 tahun), kala pergi bersama ibu dan saudaranya ke tanah suci untuk berhaji dan tetap bertahan di kota suci untuk mendalami ilmu hadits bersama para ulama. Sementara keluarganya kembali ke Bukhara. Beliau lalu melanjutkan rihlah ke Madinah, Baghdad, Syam dan Mesir dan banyak lagi hingga tercatat tidak kurang dari 100 negeri telah dikunjungi.
Kesungguhan Imam Bukhari dalam menunutut ilmu tidak bisa diragukan lagi. Saking seriusnya, tidak saja beliau sangat teliti kala belajar, tetapi juga sangat hati-hati dalam menerima hadits dari para gurunya.
Beliau sangat selektif dan berhati-hati kala mengambil riwayat dari seorang guru yang ditemuinya. Beliau akan melihat perilaku keseharian gurunya tersebut. Baginya, tanda orang berilmu adalah orang itu mengamalkan ilmunya dan bersifat tawadhu’ (rendah hati).
Mujahadah dalam menuntut ilmu tersebut, menjadikan beliau memilki panduan tegas terhadap murid-muridnya dalam menuntut ilmu terutama ilmu hadits. Menurut Imam Bukhari, ada empat hal yang mesti diperhatikan.
Pertama, “Engkau harus mengetahui hadits-hadits Rasulullah, para sahabat dan tingkatannya, kehidupan para tabi’in, kehidupan dan riwayat sejarah hidup para ulama, sekaligus silsilah keluarga, nama-nama panggilan (kuniyah), serta tempat kelahiran mereka.
Mengetahui masalah-masalah yang menjadi perselisihan (ikhtilaf) diantara mereka seperti hukum imam membaca basmalah dalam pada sholat jama’ah. Mengetahui kategori hadits-hadits yang tergolong mursal atau musnad. Membedakan antara mauquf dan maqtu’.
Bagaimana masa muda para perawih hadits tersebut. Bagaimana sikap mereka ketika diberi kekayaan lalu ketika dicabut oleh Allah dan diganti dengan kemiskinan. Suasana kampung halaman perawih tersebut.
Bagaimana rawih itu menulis dan mempunyai manuskrip dalam lembaran kulit, menulisnya di bebatuan atau di kedaunan, hingga ia memindahkan manuskrip hadits tersebut ke dalam lembaran-lembaran kertas.
Siapa saja rawih yang berada diatasnya atau dari mana ia meriwayatkan. Siapa saja meriwayatkan dirinya. Apakah ada dua nama yang sama dengannya dalam satu masa. Apakah ayahnya menulis dan meriwayatkan hadits. Apakah ia mengambil riwayat serta mendapati manuskrip naskah dari ayahnya tersebut?
Penting juga diteliti, apakah ketika ia menulis, meriwayatkan, dan menyebarkan hadits Rasulullah benar-benar diniatkan untuk mencari keridhaan Allah? Terakhir, apakah ia mengamalkan haidts-hadits yang ia riwayatkan?” demikian nasihat Imam Bukhari kepada muridnya Al-Walid bin Ibrahim Al-Bukhari, seorang murid Imam Bukhari yang menjadi qadhi (hakim) di wilayah Rayy (satu kota di Iran sekrang).
Kerumitan diatas belum selesai. Nasihat lebih lanjut Imam Bukhari. “Engkau harus mengais rezeki yang halal dengan usahamu sendiri. Harus mengetahui tulis-menulis dan Bahasa Arab dengan segala seluk-beluk ilmunya. Badanmu juga harus selalu sehat dengan menjaganya. Selalu punya keinginan dan cita-cita tinggi (dalam mencari ilmu) serta mesti istiqomah.”
Itu juga belum dianggap cukup. “Engkau juga harus sabar dalam empat hal, yaitu keluarga, anak, harta dan (rindu) kampung halaman. Termasuk sabar dan harus menjauhi dari mencela musuh, mencaci teman, mengejek dan mengatakan pada orang “engkau bodoh” dan mendengki para ulama.”
Jika berhasil, Imam Bukhari menegaskan ada empat kebaikan yang didapat. Yakni, qono’ah (merasa selalu berkecukupan). Keyakinan dalam pribadi yang kian kuat dan terus menguat. Merasa nikmatnya thalabul ilmu. Dan, kehidupan abadi (di akhirat) sebagaimana terkmaktub dalam Al-Qur’an Al-Nahl ayat 97.
Subhanallah, terbayang bagaimana pengobanan dan perjuangan Imam Bukhari dalam menuntut Ilmu. Dimana ilmu ternyata bukan soal kecerdasan semata, tetapi juga adab dan integritas sekaligus.*/ Imam Nawawi
Sumber: Majalah Mulia Edisi September 2016 hal. 58-60
0 komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.