Kepribadian Ayah Dan Totalitas Ibu Saat Mendidik Imam Bukhari
By Hidayatullah Bengkulu Selatan - Jumat, November 16, 2018
Pepatah
mengatakan, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Demikianlah yang bisa kita
ambil pelajaran dari sosok Imam Bukhari. Beliau ternyata memiliki seorang ibu
yang keyakinannya kepada Allah sungguh sangat luar biasa. Juga seorang ayah
yang sangat wara’ (menghindarkan dari dari hal-hal yang bersifat syubhat
atau tidak jelas halal ataupun haramnya) dan komitmen menjaga ketaqwaan.
Ayah
Imam Bukhari, Syeikh Ismail dikenal dengan panggilan Abu Hasan. Beliau seorang
ulama hadits yang masyhur di Bukhara dan sempat menjadi murid Imam Malik. Namun,
sang ayah meninggal saat Imam Bukhari belum dewasa. Pada akhirnya, sang ibulah
yang tampil menjadi pendidik Imam Bukhari.
Tentang
ibunya, Ibn Hajar Al-Atsqolani berkata, “Ibu Imam Bukhari seorang yang ahli
ibadah hingga sebagian riwayat menyebutkan banyak karomah-karomah yang ada pada
diri ibunda Imam bukhari.”
Suatu
saat, musibah datang. Imam Bukhari kecil kehilangan penglihatan (buta). Dokter paling
ahli pun tidak bisa mengobati dan membantu proses penyembuhan. Melihat keadaan
ini, betapa sedihnya sang Ibu. Namun,
keteguhan imannya kepada Allah, mendorongnya tak berhenti untuk berdo’a hingga
meneteskan air mata.
Akhirnya
suatu malam, sang ibu bermimpi bertemu dengan Nabi Ibrahim yang berkata
kepadanya, “Wahai ibu, disebabkan oleh banyak do’a dan tangismu, Allah akan mengembalikan
penglihatan anakmu.”
Terbangun
dari mimpinya, sang ibu langsung mendirikan sholat malam. Dan, di pagi harinya,
penglihatan Imam Bukhari kembali seperti semula.
Riwayat
lain menyebutkan, Imam Bukhari biasa membaca dan menghafal Al-Qur’an pada malam
hari, tepat pada surat Qaf hingga ayat ke 22 yang artinya, “sesungguhnya kamu
berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka kami singkapkan daripadamu
tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu sangat tajam.”
Dari
sini dapat ditarik kesimpulan bahwa kesuksesan seorang anak, sangat dipengaruhi
oleh kesiapan orangtua dalam menempa dirinya sendiri, serta pentingnya
memberikan ketauladanan pada putra-putrinya. Jika kebaikan diperagakan dalam
kehidupan, InSyaaAllah anak-anak akan mengammbil pelajaran darinya.*/
Imam Nawawi
Sumber:
Majalah Mulia Edisi September 2016 hal. 61
0 komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.