Al-Khathib Al-Baghdadi - Ulama Hadits Yang Menyedekahkan Semua Hartanya

By Hidayatullah Bengkulu Selatan - Rabu, Oktober 17, 2018


Kitab Tarikh Baghdad merupakan buku sejarah yang sangat fenomenal. Kitab itu dinilai sebagai salah satu khazanah keilmuan Islam yang sangat besar. Di dalamnya tertulis lebih dari 7780 orang yang tinggal maupun yang pernah mengunjungi Baghdad dengan tujuan mencari ilmu dari para ulama yang ada di sana.

Penulis kitab ini, seorang ulama besar bernama al-Khatib al-Baghdadi. Sebenarnya, tulisan-tulisan mengenai ulama-ulama kota Baghdad dan hal-hal seputarnya telah banyak ditulis sebelumnya. Tetapi, semua masih merupakan risalah-risalah kecil dengan muatan yang terbatas. Sedang yang dilakukan al-Khatib sangat spektakuler.

Para ulama mengakui al-Khatib sebagai seorang ulama yang sangat alim. Ia menjadi imam pada jamannya. Ia juga dikenal sebagai ulama yang memiliki aqidah lurus sebagaimana yang diikuti para salafu shalih. Dalam hal ini Adz-Dzahabi mengatakan bahwa madzhab yang diyakini al-Khatib adalah madzhab al-Asy’ari sebagaimana madzhab Imam Ahmad dan semua ulama hadits dan sunnah dalam berbagai masa.

Pada masanya al-Khatib dikenal sebagai ulama hadits yang paling unggul. Ibnu Makula mengakuinya sebagai tokoh terakhir yang mempunyai pengetahuan, hafalan dan ketelitian terhadap Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia sangat menguasai masalah ilat-ilat Hadits (kesalahan-kesalahan yang samar), sanad-sanad-nya, shahih dan gharib-nya (aneh) dan segala yang berkaitan dengannya.

Sedang Al-Mu’taman as-Sajihi mengatakan bahwa setelah Imam Ad-Daruquthni, kota Baghdad tidak lagi memerlukan ulama yang hafal Hadits melebihi al-Khatib.
Para ulama juga mengakui bahwa dalam bidang ini Ia telah melebihi teman-temannya. Ia menyusun dan mengarang, menetapkan yang shahih dan yang tidak shahih, menetapkan perawi yang adil dan yang tidak adil, dan menulis sejarah serta penjelasannya, sehingga ia menjadi al-Hafizh yang paling tinggi pada  masanya.

Selama hidupnya, al-Khatib produktif menulis berbagai karya. Beberapa peneliti telah menghitung karya-karyanya yang mencapai sekitar 80-an kitab. Di antaranya yaitu kitab Syarafu Ashabi al-Hadits yang menceritakan peranan, aktivitas, kesungguhan para Ashab al-Hadits dalam menuntut ilmu Hadits. Selain itu, juga ada al-jami’ li akhlaqi al-rawi wa adab al-sami’, iqtidha’ al-‘ilmi al-‘amali, dan al-Sabiq wa al-Lahiq fi taba’udi ma baina al-rawiyaini ‘an syaikhi wahid.

Selain menulis banyak kitab, al-Khatib juga mengajarkan ilmunya kepada masyarakat. Banyak para pencari ilmu yang belajar kepadanya yang datang dari berbagai penjuru wilayah.

Ada nasihat yang sangat menarik dari al-Khatib kepada para murid-muridnya. Ia selalu menekankan agar para penuntut ilmu selalu mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu. Mereka juga harus bersungguh-sungguh mengamalkan ilmu tersebut. Karena menuntutnya, ilmu itu ibarat pohon, sedang amal adalah buahnya. Seseorang dianggap berilmu selama belum mengamalkan ilmunya.

Demikian juga seseorang dilarang melakukan amal sebelum mengetahui ilmunya. Begitu pula jangan pernah mempelajari suatu ilmu selama masih meninggalkan amal. Hendaklah menggabungkan keduanya mski hanya sedikit bagian yang didapatkan. Jika amalan lebih sedikit dari ilmu yang dipelajarinya, maka ilmu tersebut akan menjadi beban bagi orang yang berilmu.

HARTANYA UNTUK UMMAT

Nama lengkap al-Khatib Baghdadi yaitu Abu Bakar Muhammad Ahmad bin Ali bin Tsabit. Ia lahir pada tahun 392 H di Iraq. Ayahnya Khatib Darzanjan.
Sebagaimana diakui al-Khatib, ia belajar tulis baca kepada Halal ibn Abdullah ibn Muhammad. Ia pertama kali menerima hadits pada tahun 403 H, pada saat berumur 11 tahun. Guru pertama yang menuliskan hadits untuknya yaitu Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rizq yang dikenal ibn Rizquwaih (320-412 H).

Al-Khatib awalnya tertarik pada fiqh, sehingga ia mengikuti majelis fiqh Syafi’iyyah di Masjid Abdullah ibn Mubarak. Di sana ia belajar banyak kepada Imam Abi Hamid Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Isfirani. Lalu, setelah ia bertemu dengan Abu Bakr Ahmad ibn Muhammad ibn Ghalib al-Khawarizmi yang dikenal dengan al-Barqani, seorang muhaddits sekaligus mushannif yang mendatangi Iraq dan bermukim disana, ia meminati hadits dan belajar banyak darinya.

Dalam mencari ilmu, al-Khatib tidak hanya menetap di Baghdad. Seperti lazimnya seorang penuntut ilmu, ia juga mengunjungi berbagai daerah dalam rangka rihlah ilmiyyah. Kota pertama yang ia kunjungi adalah Bashrah pada tahun 412 H. Di sana ia belajar kepada banyak ulama, seperti Abu Umar al-Qasim ibn Ja’far ibn Abdul Wahid al-Hasyimi, Abu Hasan Ali ibn Qasim ibn Hasan al-Syahid, Abu Muhammad Hasan ibn Ali al-Saburi, dan beberapa orang lainnya. Perjalanannya ke Bashrah terbilang singkat, karena pada tahun yang sama ia kembali ke Baghdad. Di Baghdad ia sempat menguburkan bapaknya.

Berikutnya, al-Khatib mulai mempertimbangkan untuk perjalanan yang panjang. Ia bimbang memilih antara Mesir yang ditempati seorang muhaddits terkenal, Abu Muhammad Abdurrahman ibn Umar al-Maliki atau Naisaburi yang ditempati beberapa muhaddits terkenal melebihi beberapa kota disekitarnya. Namun, ia kemudian mengikuti saran gurunya, al-Barqani, yang mengatakan bahwa jika mengunjungi Mesir, hanya mengharapkan satu orang, sehingga jika tidak menemuinya, berarti tidak ketemu siapa-siapa. Tapi jika memilih Naisaburi, di sana banyak orang yang akan dikunjungi. Jika tidak bisa mengunjungi salah satunya, bisa beralih kepada yang lainnya.

Akhirnya, al-Khatib berangkat menuju Naisabur pada bulan Ramadhan 415 H.

Setelah itu, tujuan berikutnya yang didatanginya adalah Ashbihan. Ia berangkat pada tahun 421 H dengan harapan bertemu dengan Abu Nu’aim al-Ashbahani. Kota ini merupakan tujuan terakhirnya dalam rihlah ilmiyyah-nya. Setelah itu, ia kembali ke kampung halamannya di Baghdad.

Namun pada tahun 445 H, saat bermaksud melaksanakan haji, ia berniat mampir di Syam selama perjalanannya. Arah pertama yang ia ambil menuju Damaskus. Selama perjalanannya, ia bertemu dengan beberapa syaikh terkenal, seperti Muhammad ibn Salamah ibn Ja’far al-Qudha’i al-Mishri, Abu al-Qasim Abdul ‘Aziz ibn Bandar al-Syairazi, dan lain-lain. Ia menetap disana selama 11 tahun.

Selanjutnya, setelah beberapa lama berpergian, ia kembali pulang pada tahun 462 H. Setahun berikutnya, ia meninggal dunia setelah sebelumnya menderita penyakit yang cukup lama.

Sebelum wafatnya ia menyedekahkan seluruh hartanya senilai 200 dinar kepada para ulama dan kaum faqir. Bahkan ia berwasiat agar menyedekahkan kiatab-kitabnya kepada kaum muslimin.

Sumber : Bahrul Ulum - Majalah Suara Hidayatulah Edisi 5 (September 2014)

  • Bagikan ke:

Mungkin Antum Mau Baca Ini Juga

1 komentar

  1. artikelnya sangat menginspirasi dan bermanfaat
    salam chris febriyana zamri https://www.atmaluhur.ac.id

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.